
2. Tuataras

3. Lamellibrachia Tube Worms

4. Red Sea Urchins

5. Koi

6. Tortoises

7. Ocean Quahog

sumber: http://jelajahunik.blogspot.com/2010/05/7-binatang-yg-hidup-ratusan-tahun.html
setiap anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan tak ada perbedaan
Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: "Bung, ayo Bung!" Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Lalu apa topik yang diangkat Affandi? "Kita bicara tentang perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang perikebinatangan?" demikianlah dia memulai orasinya. Tentu saja yang mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi bukan orang humanis biasa. Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke istana semasa Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun hidup di zaman teknologi yang sering diidentikkan zaman modern itu, dia masih sangat dekat dengan fauna, flora dan alam semesta ini. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
Namun, Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya.
Percy Jackson (Logan Lerman) tadinya hanya murid sekolah biasa saja, tak terlalu aktif dalam kelas, dan punya hobi yang sedikit unik. Anak remaja yang tinggal dengan ibu dan ayah tiri ini, gemar menenggelamkan dirinya dalam air hingga beberapa menit (dari sini sebenarnya sudah menjelaskan kenapa dia suka sekali dengan air). Kehidupannya yang cenderung membosankan berubah seketika pada saat dia dan rekan-sekan satu sekolahnya sedang mengunjungi museum, mempelajari tentang mitologi Yunani. Percy tidak hanya diserang oleh monster bersayap (dikenal dengan nama Fury) namun juga dikejutkan oleh kenyataan bahwa orang-orang disekitarnya bukan orang yang selama ini dia kenal (termasuk gurunya yang berubah menjadi monster bersayap tersebut). Teman karibnya, Grover (Brandon T. Jackson) ternyata adalah seorang mahkluk dari mitologi Yunani dikenal dengan sebutan Satyr (manusia bertanduk dan berkaki seperti kambing), dia juga mengaku sebagai pelindung Percy selama ini. Gurunya Mr. Brunner (Pierce Brosnan), yang selama ini berada di kursi roda ternyata adalah Centaur (setengah manusia dan setengah kuda). Percy juga sekarang mengetahui bahwa dia adalah anak dari dewa laut, Poseidon (Kevin McKidd), semua kebenaran itu disembunyikan oleh Grover, Mr Brunner, termasuk Ibunya sendiri untuk melindungi Percy.
Kejutan yang datang bertubi-tubi kepada Percy tersebut ditambah dengan masalah besar yang menimpanya. Percy dituduh mencuri barang penting milik Dewa Zeus (Sean Bean), sebuah tongkat yang memiliki kekuatan petir. Percy yang sebenarnya tidak bersalah harus mengembalikan tongkat tersebut sebelum waktu 14 hari yang ditentukan habis atau akan ada perang besar antara dewa-dewa yang akan membuat dunia ini hancur (sekali lagi semua ini berujung pada akhir dunia). Percy pun dikirim ke perkemahan khusus para demigod (sebutan untuk manusia setengah dewa), untuk menjalani serangkaian latihan dan bertemu dengan teman-teman “senasib” disana. Sayangnya ketika menuju ke tempat tersebut, Percy dan yang lainnya termasuk ibunya diserang oleh Minotaur (mahkluk mitologi berbentuk manusia berkepala banteng). Walau berhasil membunuh monster raksasa tersebut, Percy harus rela kehilangan sang Ibu. Belakangan diketahui Ibunya ternyata tidak tewas, namun dikurung oleh Hades (Dewa penghuni neraka) yang meminta Percy untuk membawakannya tongkat petir Zeus jika ingin ibunya selamat. Lewat latihan “instant” yang dia dapatkan, Percy siap untuk menolong ibunya bersama dengan bantuan Grover dan juga Annabeth (Alexandra Daddario), anak dari Dewi Athena. Berhasilkah Percy menolong sang Ibu sekaligus menyelamatkan dunia dari “War of Gods”?
Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief mengajak kita berpetualang ke dunia mitologi Yunani yang dipenuhi beragam macam keajaiban. Melalui perjalanan Percy untuk menyelamatkan Ibunya dan juga dunia, kita akan diperkenalkan dengan para Dewa-Dewi Yunani yang mungkin selama ini kita kenal, seperti Zeus, Poseidon, Hades, dan juga Athena. Selain dipertemukan dengan Dewa dan Dewi, yang kali ini diceritakan dapat berbaur dengan manusia (berubah wujud seperti manusia biasa), film ini juga akan memperkenalkan monster-monster yang juga berasal dari mitologi Yunani. Film ini juga tidak lupa memberikan sisipan-sisipan pengetahuan tentang mitologi Yunani bersamaan dengan bergulirnya film. Chris Columbus dengan cerdik dapat memanfaatkan cerita-cerita mitologi tersebut dan akhirnya melebur dengan jalan cerita yang ada. Sedikit banyak kita jadi lebih tahu apa hubungan Zeuz dengan Poseidon dan Hades, atau cerita tentang Dewa penghuni gunung Olympus lainnya. Sayangnya film yang diadaptasi dari novel berseri karya Rick Riordan ini tidak terkemas dengan begitu baik, terkesan hanya mengekor film-film adaptasi novel yang sebelumnya sudah lebih dahulu hadir.
Sutradara yang pernah membesut dua film pertama Harry Potter ini (Harry Potter and the Sorcerer’s Stone, Harry Potter and the Chamber of Secrets) sepertinya lupa melengkapi film ini dengan hal-hal baru yang tidak pernah muncul di film sejenis. Alhasil kita harus puas dengan suguhan cerita yang sepertinya agak “familiar”, kurang lebih kita akan selalu ingat dengan kisah Narnia atau nantinya akan dibanding-bandingkan dengan seri-seri awal Harry Potter. Bagaimana tidak, film ini juga menampilkan kisah layaknya “negeri dongeng” dengan segala pernak-pernik Dewa, mahkluk-mahkluk ajaib, dan juga tiga jagoan yang kesemuanya masih remaja (kalau tidak ingin dibilang anak kecil). Apakah ini pertanda kita yang mulai bosan dengan film-film bergenre sama dengan ramuan serupa, atau film yang juga dibintangi Uma Thurman ini memang termasuk biasa saja. Dari adegan awal yang kurang menjanjikan, film berlanjut menyajikan alur cerita yang terkesan dipaksakan dengan plot yang berjalan datar. Penonton juga serasa dipaksa untuk pasrah menerima cerita apa adanya, tiba-tiba begini dan tiba-tiba begitu.
Columbus berbaik hati masih memasukkan unsur-unsur pemanis kedalam film ini, adegan-adegan perkelahian dengan monster (minotaur, fury, hydra) dibalut dengan menarik lewat spesial efek yang cukup mumpuni (termasuk kemunculan Hades untuk pertama kalinya). Tapi tetap saja adegan-adegan yang punya kesempatan lebih tersebut kurang teresekusi dengan cermat, plot hole dimana-dimana dan sekali lagi adegan yang “dipaksa” untuk menjadi menarik. Melalui “sidekick” Percy yaitu Grover, kita juga akan disajikan humor-humor ringan. Walau sedikit mengundang tawa penonton, upaya sang Satyr sepertinya kurang maksimal dan tidak menyelamatkan film ini sedikitpun. Kekurangan paling kental yang dirasakan dalam film ini adalah jalinan “chemistry” antara karakternya yang justru tidak dikembangkan dan dibiarkan begitu saja, Columbus mungkin berpikir yang terpenting selesaikan film sampai selesai. Untuk sekian kalinya film ini justru diselamatkan bukan karena ceritanya, namun dengan kehadiran spesial efeknya. Khususnya ketika Percy mengajak kita ke “kediaman” Hades, film ini menampilkan “neraka” yang begitu mempesona sekaligus menakutkan (walau sekilas mengingatkan kita dengan neraka versi Constantine). Film yang punya judul terlalu panjang ini secara keseluruhan dapat menghibur di beberapa adegannya, terutama ketika adegan action menjadi menu utamanya. Tetapi dengan plot yang klise dan cenderung dipaksakan tanpa tambahan nuansa baru pada filmnya, Percy Jackson & the Olympians: The Lightning Thief harus rela berakhir di jajaran film yang sangat mudah dilupakan. Semoga sekuelnya dengan embel-embel “The Sea of Monsters” yang direncanakan rilis 2012 dapat belajar dari film pertamanya dan tampil lebih baik.